Mencari kesempatan dalam kesulitan. Kalimat ini dirasa pantas diucapkan. Buat mereka suka memperkaya diri di tengah bencana. Memanfaatkan belas kasih para dermawan. Tiap bantuan justru dikumpulkan. Tak dibagikan kepada para korban.
Cara klasik dipakai. Ikut berpura-pura menjadi korban. Menyamar demi mendapatkan bantuan. Dari satu pos ke pos bantuan lain. Apa saja bisa didapat. Berupa makanan, pakaian hingga uang. Kejadian seperti itu kerap terjadi dalam berbagai bencana alam.
Sepanjang tahun 2018, Indonesia beberapa kali mendapat bencana. Tiga peristiwa terjadi jelang akhir tahun. Gempa bumi beruntun di Lombok, NTB. Lalu ada gempa, tsunami dan likuifaksi terjadi Palu, Sulawesi Selatan pada bulan September. Terakhir silent tsunami di wilayah Banteng pertengahan bulan Desember.
Berbagai bencana alam yang terjadi sontak menjadi perhatian publik. Semua orang ramai-ramai menyampaikan duka dan keprihatinannya. Di situ niat mencari kesempatan di bencana muncul. Di semua bencana Tanah Air. Mereka bahkan membuat pos pengumpulan bantuan dadakan tanpa izin RT, RW, perangkat pemerintah lainnya. Lokasinya jauh dari pengungsian. Berjanji pada dermawan akan menyalurkan bantuan kepada korban. Padahal tak semua disalurkan.
Tim merdeka.com melakukan pencarian atas informasi tersebut. Ada beberapa titik dicurigai. Salah satunya di sepanjang Jalan menuju Pantai Carita, Pandeglang, Banten. Kami mendapat kabar, adanya pos bodong di wilayah Cinangka hingga Carita. Pekan lalu, dua hari kami bolak-balik jalur tersebut.
Kami pun melakukan penelusuran di sepanjang jalur tersebut. Namun pos-pos yang dimaksud sudah tidak ada. Hanya menyisakan beberapa pos pengungsian warga yang rumahnya rusak gelombang tsunami.
Kapolres Pandeglang AKBP Indra Lutrianto Amstono membenarkan adanya informasi pengungsi dan pos bantuan bodong. Ada tiga titik dicurigai. Pos bantuan di wilayah itu menerima bantuan dari para donatur. Namun, diduga bantuan diterima tidak disampaikan kepada korban. Melainkan dinikmati sendiri.
Informasi itu lantas disampaikan di forum di posko utama. Sehingga Bupati, Kepala BPBD, Komandan Rayon Militer (Danramil) hingga para Camat mengetahui dan bekerja sama untuk menertibkan hal tersebut. Tujuannya untuk melakukan antisipasi di tiap wilayah.
Semua titik pos bodong dicurigai sudah ditindak. Sejumlah anggota kepolisian diutus untuk melakukan penyelidikan. Dilakukan pengintaian. "Kami juga melakukan interogasi kepada pos-pos yang dicurigai jadi pos bodong," kata Indra dua pekan lalu.
Sulit bagi kepolisian membuktikan. Apalagi di tengah kondisi pascabencana seperti itu. Tidak ada penangkapan dilakukan. Beberapa orang dicurigai. Namun mereka selalu berkelit. Sambil menunjukkan bukti bahwa bantuan telah disalurkan kepada korban. Meski begitu pihaknya masih melakukan pengawasan.
Indra mengaku pascakejadian tsunami, banyak masyarakat belum mendapatkan bantuan. Sebab terhalang akses lokasi jauh dan rusak akibat tsunami. Salah satunya informasi minimnya bantuan ke Kecamatan Sumur, Pandeglang. Kabar itu kadung viral di sosial media. Para dermawan beramai-ramai menuju lokasi terdampak.
Akibatnya kendaraan menuju Sumur harus antre hingga 7 jam. Padahal biasanya untuk sampai ke lokasi sebelum bencana bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam dari Kecamatan Labuan. Akhirnya, para dermawan yang kehabisan logistik di perjalanan memutuskan untuk menitipkan bantuan kepada warga setempat membuka pos penerimaan bantuan. Berharap bisa disalurkan kepada warga Sumur terdampak.
Lokasi itu merupakan salah satu titik dicurigai kepolisian adanya pos bodong. Itu dikuatkan dari keluhan beberapa warga mengenai pos bantuan tersebut tidak amanah. Lalu informasi itu sampai kepada pihak berwajib. Dari kecurigaan itu, akhirnya pihak kepolisian melakukan pemantauan dan penyelidikan kepada beberapa orang diduga melakukan penggelapan.
Sebagai langkah pencegahan, kepolisian melakukan tindakan persuasif. Mereka meminta tiap pos dipastikan menyalurkan bantuan kepada pihak berhak menerima. "Mungkin karena adanya imbauan itu sehingga yang tadinya ada lalu berhenti," ucapnya.
Bupati Pandeglang, Irna Nurlita, mengakui adanya kabar pengungsi dan pos penerima bantuan bodong. Sebagai penanggung jawab masa tanggap darurat, itu sudah disampaikan kepolisian. Tak hanya itu, dia juga melihat sebaran bantuan tidak merata. Sebagian warga kelebihan. Namun, banyak pula kekurangan bantuan.
"Di satu sisi ada bencana, satu sisi juga karunia buat masyarakat kami. Kami tidak perlu fokus memikirkan ke sana, itu rezeki warga saya," kata Irna di posko utama, Gedung PGRI Kecamatan Labuan, Pandeglang.
Pengungsi tsunami selat sunda di wilayahnya terbagi menjadi tiga kelas. Pertama, pengungsi terdampak gelombang tsunami. Mereka adalah para penyintas dengan kondisi rumah hancur atau rusak akibat tsunami.
Kedua, warga mengungsi akibat adanya peringatan radius aman dari BMKG sejauh 500 meter hingga 1 kilometer dari bibir pantai. Terakhir, pengungsi bodong memanfaatkan momen untuk mendapatkan bantuan secara cuma-cuma. Padahal mereka tidak terdampak sama sekali.
Biasanya pengungsi bodong ini mencari bantuan dari pos satu ke pos lainnya. Padahal, bantuan disalurkan pos utama milik pemerintah telah disalurkan lewat tiap Camat. Nantinya, para kepala desa tinggal mengambil bantuan di Kecamatan. Peran RT dan RW di sini penting. Mereka membagikan kepada warga terdampak. Sehingga para pengungsi tidak perlu mencari bantuan dari satu pos ke pos lain.
"Mereka ini (pengungsi bodong) berhamburan. Datang ke posko di Desa ambil bantuan dan di tumpuk barangnya di rumah. Lalu besok masuk lagi ke posko kecamatan, minta ke camat, tumpuk lagi. Nah yang kaya gini yang harus ditertibkan," cerita Irna.