spotrsbook kasino online game slot angka 4d poker online permainan tangkas livestream
sbobet ibcbet mr8
sbobet casino ibcbet casino ion klub idn
joker
isin4d
tangkasnet
img

Pemerintah Turki hari ini mencabut status darurat negara yang telah diberlakukan sejak upaya kudeta militer yang gagal 2016.

Pencabutan itu merupakan bentuk pemenuhan janji kampanye Erdogan sepanjang pemilihan presiden dan parlemen Juni 2018. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (19/7).

Dua tahun lalu, Turki memberlakukan status darurat, lima hari setelah upaya kudeta yang gagal pada 20 Juli 2016. Alasan pemberlakuan itu adalah "untuk memungkinkan pihak berwenang mengambil tindakan yang cepat dan efektif terhadap mereka yang bertanggungjawab dalam kudeta."

Pemberlakuan status darurat itu diperpanjang sampai tujuh kali --sejak pertama kali diterapkan pada Juli 2016 hingga dicabut pada Juli 2018 ini.

Durasi pemberlakuan status darurat yang berlarut-larut menuai kritik dari oposisi dan negara Barat sekutu Turki --yang mana mereka menilai bahwa kebijakan itu menjadi landasan bagi Erdogan untuk melakukan "pembersihan terhadap lawan politiknya".

Menggunakan alasan status darurat itu, otoritas Turki --di bawah kendali Erdogan-- melakukan langkah-langkah 'pembersihan' gerakan serta ampas-ampas kudeta.

'Pembersihan' itu mengakibatkan lebih dari 250 orang tewas, puluhan ribu orang dipenjara dan dipreteli dari jabatannya di pemerintahan dan pos layanan publik (termasuk pendidikan), sejumlah di antaranya dicekal untuk ke luar negeri, dan beberapa lainnya mengasingkan diri ke negara asing.

Bentuk penanggulangan yang terakhir kali dilakukan oleh Erdogan adalah pada 8 Juli 2018, atau sehari sebelum pelantikannya sebagai presiden Turki di bawah sistem pemerintahan presidensil. Pada tanggal itu, Erdogan menyetujui dekrit pemecatan 18.632 orang aparatur sipil negara Turki.

Banyak pihak menilai, langkah pemecatan itu dilakukan sebagai bentuk pemenuhan janji kampanye Erdogan yang hendak 'membersihkan korps aparatur negara dari sisa-sisa figur yang terlibat dalam kudeta Turki 2016'. Demikian seperti dikutip dari The Telegraph.

Erdogan telah mengawasi serangkaian aksi 'pembersihan' sejak kudeta Juli 2016 --di mana sejumlah faksi militer Turki melancarkan operasi untuk menggulingkan pemerintah dan pemimpinnya.

Turki menuding ulama dan pengusaha yang tinggal di AS, Fethullah Gullen, sebagai dalang kudeta. Gullen membantah terlibat.

Usai dua tahun kudeta, banyak pihak mendesak agar status darurat yang ditetapkan oleh pemerintah Turki segera dicabut, ketimbang Ankara berlarut-larut melakukan 'pembersihan' dari para figur yang diduga terlibat dalam kudeta tersebut --yang pada akhirnya, pencabutan itu dilakukan oleh Negeri Ottoman.

Di sisi lain, Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut, lebih dari 160.000 aparatur sipil negara Turki telah dipecat sebelum peristiwa terbaru ini. Sekitar sepertiga di antaranya telah secara resmi didakwa, dipersidangkan atau dipenjarakan.

Pemerintah Turki telah membela rangkaian 'pembersihan' itu, menyebutnya sebagai 'langkah yang diperlukan untuk memerangi ancaman terhadap keamanan nasional, kudeta, dan terorisme'.

Tetapi, para kritikus Barat mengatakan banyak di antara mereka yang menjadi target 'pembersihan' sejatinya tidak terlibat signifikan dalam kudeta Turki 2016, melainkan, hanya semata-mata oposisi politik, anggota kelompok pro-kurdi, atau pro-Fethullah Gullen yang dinilai mengancam kemapanan kekuasaan Presiden Erdogan.

tangkasnet
csaceofbet